“Malam adalah efek perpisahan yang mengesankan.” kata Dewi sambil menjentik abu pada puntung nikotin yang disedut. Perlahan. Hembusan toksik berasap tempias mengenai wajahku. Kemudian dia diam. Bungkam. Aku, temannya harus selalu menjadi pendengar yang baik lagi setia.
Di luar, cahaya perang keemasan berkilatan pada kaca jendela gedung-gedung bertingkat Kuala Lumpur. Bagai diselebungi bebayang seekor orge. Seolah digerakkan tangan-tangan dewa, awan gemawan pun menyisih pergi.
Cahaya kuning matahari melesat-lesat. Membias pada gerak jalanan yang mendadak berubah bagai tarian. Membias pada papan-papan reclaimed. Membias pada percik gerimis dari pancutan air buatan. Membias di antara keunguan mega-mega. Maka langit bagaikan dilukis waktu. Bagai digerak ruang, yang segera hilang. Cahaya kuning senja yang makin lama makin jingga menyiram aspal, menyiram segenap perasaan yang merasa diri celaka.
“Dewi, mengapa kau enggan berhenti dari upacara kehidupan yang macam dajal ini?” Sayang. Suara aku hanya bergema dalam diri. Kecuali aku dan Tuhan, Dewi tidak mendengar. Dan, aku yakin aku pernah bertanya itu dan ditempelak keras. Seminggu Dewi tidak bersapa denganku.
Cahaya melesat-lesat, membias, dan membelai rambut celupan perang Dewi yang melambai terpuput bayu. Dari balik rambut itu, mengertap cahaya anting-anting panjang yang tidak terlalu gemerlapan dan tak terlalu menyilaukan sehingga bisa ditatap bagai menatap semacam keindahan yang segera hilang. seumpama sebuah kebahagian. Di dunia, tidak ada yang pernah hakiki. Sama seperti kebahagiaan palsu yang Dewi kecapi.
Langit senja bermain di cermin kereta dan kaca-kaca toko. Lampu-lampu jalanan menyala. Angin berpuput dan sedikit mengeras. Senja bermain di atas kampung-kampung. Di atas genting-genting. Di atas daun-daun. Mengendap ke aspal yang sibuk. Mengendap ke mana-mana posisi yang diingini.
Ada sisa warna keemasan di langit, bertarung dalam kekelaman yang datang. Dewi, yang cantik tetapi mati hatinya melhat cermin solek kecilnya.
“Sia-sia kawan, kau cuba bercermin di kaca sekecil ini” Aku bersuara perlahan. Dewi cebikan bibir mungilnya.
Muzik hip hop yang mengentak dari cafe mewah dengan bunyi yang paling dajal. Pembantu-pembantu warga tanah sebarang menggendong bayi di balik pagar. Di kawasan kediaman elit seberang jalan. Langit makin jingga, makin ungu. Cahaya keemasan berubah jadi keremangan. Keremangan berubah jadi kegelapan. Bola bintang besar bergelar matahari tenggelam di cakerawala. Jauh di luar kota. Dan kota tinggal kekelaman yang riang dalam kegenitan cahaya listrik. Dan begitulah hari–hari berlalu.
Lampu-lampu kendaraan yang lalu-lalang membentuk untaian cahaya putih yang panjang dan cahaya merah yang juga panjang. Wajah si penjual media arus perdana dan majalah di lampu merah pun menggelap. Begitu juga wajah penjual kertas judi yang di”halal”kan. Mereka menawarkan tiket-tiket kekayaan pintas ke tiap jendela kendeaan yang berhenti. Takkala bintang-bintang mula mengintip di langit yang bersih.
Dewi masih lagi menyapukan lipstik ke bibirnya. Mengoles pewarna di tulang pipi dan pelipis mata yang makin kedut. Dia, temanku yang mencari kekayaan pintas dengan menawarkan tubuh sebagai pelaburan.
Malam telah turun di Kuala Lumpur. Di meja sebuah warung yang disewakan kepada pendatang aku nukilkan sesuatu untuk Dewi. Aku menulis sajak tentang cinta.
Harimu makin suram dipanjat usia
kau masih berselingkuh dosa
kau pun tahu Dewi
angin menyapu musim, gerimis memintas
pada senja yang melintas,
kita pun takkan tahu
esok masihkah kita ketemu malam
kau masih mimpikan cinta,
siapa tahu dalam jejak senyap semalam
bersama kita menatap hujan
esok kita takkan bertemu lagi,
ps: sekadar mencuba yang berbeza. Asyik klik 'simpan' dan 'pratoton' puluhan kali. Sehinggalah terbaca entri terbaru Kubu Buku oleh Fazd.
Ulasan
menarik. ada sambungannya, tak.?!