/1/
Sebuah tren dalam kenangan
Dalam gemerlap cahaya pagi
pada sebuah kota dengan seribu kerlip di masa lalu
aku menjerit tanpa suara, rasa putus asa kadang tersisa
didera bayu dingin yang ranum
Ah! kota ini, yang paling ku benci dalam separa cinta
dalam sesak nyawa mungkin masih ku ingat namanya
sekadar satu dua kota yang ku jalani dalam lambaian cerita waktu usia separuh ranum
bisa tancapkan sejarah di minda kenangan
Penguasa asyik bermadah seloka
bukan tentang air sumur senja yang dibasahkan jiwa di paruh waktu
bukan tentang tumpahnya air mata di masa lalu
bukan Tuhan yang di sembah di lima waktu
bukan tentang penjual kaki lima yang sentiasa lari dikejar mereka
pastinya gadis-gadis bermata bundar, berharuman Estee Lauder
dan bagaimana harus menawan mereka
dengan mandat diberi rakyat
Malam bertransformasi pagi
dan pagi adalah babak baharu dalam jurnal kehidupan
ia hidup bersama nyawa seribu embun di serumpun bambu tua
di sebuah pagi seranum anggur peram
pada kota bercantum debu dan pelangi
aku di sini
menunggu tren bergerabak buruk
untuk sesuap rezeki sebuah waktu dari masa depan
mampir bersama doa, moga usia dipanjat masih panjang.
/2/
Sudut pandang sebuah jendela RapidKL
Aku melihat kekesalan di dalam Mercedes mewah
ada kemarahan di wajah pemilik kenderaan biaya kreditan
ada amukan marah di aura wajah pemandu-pemandu teksi
ada keberanian dalam gusar pada wajah si pelintas jalan
namun kehidupan harus terus berjalan.
/3/
Apa yang kita punya?
Sebuah tren dalam kenangan
Dalam gemerlap cahaya pagi
pada sebuah kota dengan seribu kerlip di masa lalu
aku menjerit tanpa suara, rasa putus asa kadang tersisa
didera bayu dingin yang ranum
Ah! kota ini, yang paling ku benci dalam separa cinta
dalam sesak nyawa mungkin masih ku ingat namanya
sekadar satu dua kota yang ku jalani dalam lambaian cerita waktu usia separuh ranum
bisa tancapkan sejarah di minda kenangan
Penguasa asyik bermadah seloka
bukan tentang air sumur senja yang dibasahkan jiwa di paruh waktu
bukan tentang tumpahnya air mata di masa lalu
bukan Tuhan yang di sembah di lima waktu
bukan tentang penjual kaki lima yang sentiasa lari dikejar mereka
pastinya gadis-gadis bermata bundar, berharuman Estee Lauder
dan bagaimana harus menawan mereka
dengan mandat diberi rakyat
Malam bertransformasi pagi
dan pagi adalah babak baharu dalam jurnal kehidupan
ia hidup bersama nyawa seribu embun di serumpun bambu tua
di sebuah pagi seranum anggur peram
pada kota bercantum debu dan pelangi
aku di sini
menunggu tren bergerabak buruk
untuk sesuap rezeki sebuah waktu dari masa depan
mampir bersama doa, moga usia dipanjat masih panjang.
/2/
Sudut pandang sebuah jendela RapidKL
Aku melihat kekesalan di dalam Mercedes mewah
ada kemarahan di wajah pemilik kenderaan biaya kreditan
ada amukan marah di aura wajah pemandu-pemandu teksi
ada keberanian dalam gusar pada wajah si pelintas jalan
namun kehidupan harus terus berjalan.
/3/
Apa yang kita punya?
Bila hidup bersenda hidup di Kuala Lumpur
persoalan sering terpunggah dalam minda
yang menjadi bintang kata-kata
"Apa yang kita si marhein punya?"
Untuk menemui kawanan kehidupan
Baik berjodoh wang, cinta atau senggama tanpa nikah
Apa yang si marhein punya?
Semua terampas di jalan-jalan penuh angkara
dalam menara, banglo, istana dan toko niaga milik orang ada-ada
atas nama saguhati,cenderahati, hamper,taja biaya dan seribu juta manis istilah kata
sebenarnya bangkai rasuah yang ditutup rapat erat bersopan kalimah
mahu kaya enak sendiri menjadi idola pujaan
tapi berapa atau apa waktu kalian bisa bersenyawa.
/4/
Seribu satu wajah penindasan
Ya, memang selalu demikian
kita selalu menolak penindasan
penindasan diam-diam adalah pancung dan tali gantung
punya wajah yang jelita terbaik
watak paling diam semulia para wali
hingga para marhein tiada kudrat melawan
walau dalam bentuk pangkah kertas undi
Jalan-jalan kota tua kita ini
sebelum kita bersenggama dengan rembulan malam
tertahan kita di samping propaganda dan slogan penuh lompang
di’audio visual’kan di kaca tivi
bersama model-model kuncu pengiklanan paling seksi.
/5/
Di hentian sepi jam 5.45am dalam kenangan
Pada hentian tren
jam ketika si kaya masih dalam blanket tebal
pada pagi, mu’azim menyeru ingat pada kewajipan hakiki
aku berdiri sendiri
Betapa indahnya matahari pagi
di timur stesyen ini
tumbuh bersama jatuhnya embun
dan pagi datang lagi
mencatatkan nama pada jurnal harian
di mana matahari
sering menjadi saja menjadi pembuka kisah
tentang kehidupan
tawa atau air mata
Di sebuah hentian tren
Aku mengeja dan memaknakan sebuah pagi
dengan akhbar NST
Ku baca artikel saban pagi
konon mahu bersaing atas nama ekonomi
kudapan paling enak untuk si marhein
menarik, menggeletek hati perut sampai berbunyi
Lalu tren datang dengan bunyi paling bingit
bacaan NST aku teruskan
untuk satu tujuan
nanti mensyuarat di tempat kerja
tidaklah aku terpinga-pinga
tiada siapa bertutur pakai bahasa ibunda.
9.37pm
13/07/09
NOTA: Semua catatan yang terbuang dari media perdana.
Ulasan